Pelajaran 3

Unjuk Rasa = Awal Kekacauan & Bencana

Ketika badai unjuk rasa berhembus, orang-orang berhamburan keluar rumah mengekspresikan keinginannya. Mereka berkumpul dalam aksi longmarch besar-besaran. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya ikut serta. Walaupun awalnya sekedar unjuk rasa damai, tetap saja kerusuhan sering kali mewarnai. Mengapa demikian? Simaklah pendapat seorang ‘alim rabbani yang namanya tak asing di telinga kita. Beliau lah ulama yang digelari oleh Syaikh Al Albani –rahimahullah– sebagai faqiehuz zamaan, alias ahli fiqih zaman ini. Beliaulah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah-.

Ada yang bertanya kepada beliau: “Kalau penguasanya tidak berhukum dengan syariat Allah, lalu ia membolehkan sebagian kalangan untuk melakukan unjuk rasa independen berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh si penguasa, kemudian mereka (para demonstran) melakukannya; kemudian bila ada yang mengingkari perbuatan mereka, mereka mengatakan: “Kami tidak melawan penguasa, dan apa yang kami lakukan selaras dengan pendapat penguasa”. Apakah hal tersebut dibolehkan secara syar’i jika mengandung hal-hal yang bertentangan dengan nas (dalil)?

Jawab beliau, “Kamu hendaknya mengikuti para salaf. Kalau memang demonstrasi ada di zaman salaf, berarti baik. Namun jika tidak ada di zaman mereka, berarti jelek. Tidak diragukan sedikitpun bahwa demonstrasi itu jelek, sebab ia menimbulkan kekacauan, baik dari pihak demonstran maupun yang lain. Bahkan terkadang menimbulkan tindak aniaya terhadap kehormatan, harta benda, dan jiwa. Karena mereka yang tenggelam dalam kekacauan tadi, seperti pemabuk yang tidak sadar terhadap ucapan dan perbuatannya. Jadi, demonstrasi itu jelek semua, baik diizinkan oleh penguasa maupun tidak. Adanya sebagian penguasa yang mengizinkan demonstrasi sebenarnya hanyalah basa-basi, sebab jika hati kecilnya ditanya ia pasti sangat membencinya. Namun ia berusaha menampakkan dirinya sebagai orang yang ‘demokrat’, dan memberi kebebasan bagi rakyat… ini semuanya bukanlah sikap para salaf”.[1]

Kalau lah ada yang mengatakan bahwa fatwa ini tidak berlaku bagi demonstrasi damai, maka jawabnya ialah bahwa walaupun demonstrasi itu awalnya damai, namun sering berujung pada kekerasan dan tindak anarkis. Sebab para demonstran belum tentu satu tujuan, dan tidak memiliki satu komando… mereka juga tidak bisa menolak orang lain yang hendak bergabung, dan bahkan mungkin tidak saling mengenal satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, provokator sangat mudah menyusup untuk menyulut fitnah. Apalagi jika mereka keluar dengan emosi lalu mendapat perlakuan dan sikap yang tak sesuai keinginan, maka bukan saja kekacauan yang terjadi, namun perang saudara dan pertumpahan darah.

Revolusi Tunisia awalnya sekedar unjuk rasa akibat meroketnya harga sembako dan solidaritas terhadap Bouazizi yang membakar dirinya. Akan tetapi, unjuk rasa hari itu berujung pada baku hantam antara aparat dan ratusan pengunjuk rasa, penangkapan puluhan demonstran, dan pengrusakan sejumlah fasilitas umum. Kemudian berakhir setelah menyisakan 219 korban tewas.[2]

Revolusi Mesir sampai hari ini belum benar-benar berakhir. Menurut amnesty internasional, jumlah korban tewas sejak meletusnya revolusi tanggal 25 Januari 2011, minimal mencapai 840 orang[3]. Dan sampai hari ini aksi demonstrasi masih terus terjadi dan terus menelan korban jiwa.

Yang lebih parah lagi adalah revolusi Libya. Jenderal Abdul Mun’im Al Hauny selaku wakil Majelis Peralihan Nasional Libya di Kairo, pernah menyatakan bahwa revolusi melawan Gaddafi telah menelan korban 35 ribu orang tewas, puluhan ribu orang luka-luka, dan kerugian material atas rusaknya fasilitas dan infrastruktur umum lebih dari 240 milyar Dollar! Hal ini beliau jelaskan dalam wawancara dengan harian Al Masry Al Youm tanggal 11 Agustus 2011. Artinya, saat itu Gaddafi belum benar-benar terguling, sebab ia baru terbunuh tanggal 20 Oktober 2011.[4]

Belum lagi dengan Revolusi Yaman dan Suriah. Semuanya membuktikan bahwa demonstrasi = awal berbagai kekacauan dan bencana. Demonstrasi dan unjuk rasa, termasuk bentuk khuruj, alias pemberontakan terhadap penguasa[5]. Kalau penguasa tersebut seorang muslim, maka tindakan ini jelas haram secara syar’i. Simaklah hadits berikut yang sarat dengan pelajaran berharga…

Abdurrahman bin Abdirabbil Ka’bah menceritakan, “Aku pernah masuk ke masjidil haram dan kudapati Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash sedang duduk di balik bayang-bayang Ka’bah, sedangkan orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Aku pun menghampiri mereka dan duduk di dekatnya. Ia lantas bercerita, “Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu safar. Kami singgah di sebuah tempat, lalu di antara kami ada yang membenahi tenda, ada yang bermain panah, dan ada yang mengawasi hewan tunggangannya. Tiba-tiba pesuruh Rasulullah memanggil kami untuk shalat berjama’ah. Maka kami segera mendatangi Rasulullah untuk shalat, lalu selepas shalat beliau bersabda:

إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم، وإن أمتكم هذه جعل عافيتها في أولها وسيصيب آخرها بلاء وأمور تنكرونها، وتجيء فتنة فيرقق بعضها بعضا، وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه مهلكتي ثم تنكشف، وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه هذه؛ فمن أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة، فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى الناس الذي يحب أن يؤتى إليه، ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر.

Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan ia wajib membimbing umatnya kepada sesuatu yang paling baik bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari sesuatu yang paling buruk untuk mereka. Sesungguhnya keselamatan umat ini dijadikan bagi generasi awalnya, sedangkan generasi akhirnya akan terkena berbagai bala dan perkara yang kalian ingkari. Fitnah pun datang melanda, dan sebagian fitnah seakan meringankan fitnah lainnya. Lalu datanglah fitnah besar, hingga orang beriman mengatakan bahwa inilah kebinasaannya; lalu fitnah tersebut berakhir. Kemudian datang fitnah yang lebih besar lagi, maka si mukmin berkata: “Ini dia… ini dia”. Maka barangsiapa ingin dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan Surga, hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir; dan hendaklah memperlakukan orang-orang dengan perlakuan yang ia sukai bagi dirinya sendiri. Barangsiapa telah membaiat seorang pemimpin dengan tulus ikhlas, maka hendaklah ia taat kepadanya selagi mampu. Bila ada orang lain yang hendak merebut kepemimpinannya, maka bunuhlah orang lain tersebut”.

Maka kudekati beliau dan kukatakan, “Kusumpah engkau demi Allah. Benarkah ini semua kau dengar dari Rasulullah?” tanya Abdurrahman. Maka ia menunjuk kedua telinga dan dadanya, seraya berkata: “Aku mendengarnya dengan kedua telingaku, dan memahaminya dengan hatiku”. Jawab Abdullah bin ‘Amru.

Lalu bagaimana dengan sepupumu Mu’awiyah yang menyuruh kami agar memakan harta kami secara batil, dan saling berbunuhan? Padahal Allah berfirman:

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما !

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan jual-beli atas dasar kerelaan. Jangan pula kalian saling membunuh, sesungguhnya Allah amat pengasih terhadap kalian (An Nisa’: 29).

Abdullah bin ‘Amru pun terdiam sejenak, lalu berkata: “Taatilah dia dalam hal yang bersifat taat kepada Allah, dan maksiatilah dia dalam hal yang bersifat maksiat kepada Allah”. (HR. Muslim no 1844).

Dalam hadits lain Rasulullah pernah ditanya,

يا نبي الله أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة فجذبه الأشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم

Wahai Nabiyullah, bagaimana menurutmu jika kami dikuasai oleh para pemimpin yang menuntut hak mereka, namun merampas hak kami. Apa yang engkau perintahkan atas kami? Nabi pun berpaling darinya. Lalu beliau ditanya lagi kedua atau ketiga kalinya, maka Asy’ats bin Qais menarik baju si penanya, lalu Nabi menjawab: “Dengarlah dan taatilah para pemimpin kalian, karena mereka bertanggung jawab atas kewajibannya, dan kalian bertanggung jawab atas kewajiban kalian”. (HR. Muslim no 1846).

Dalam perang Hunain, Rasulullah berhasil mengalahkan suku Hawazin dan meraih ghanimah yang demikian besar. Beliau lantas membagi-bagikannya kepada suku Quraisy yang baru masuk Islam dan kebanyakan dari mereka justru lari saat pertempuran. Akan tetapi, kaum Anshar yang begitu berjasa dan membela Rasulullah mati-matian, justru tidak diberi apa-apa. Sebagian dari mereka lantas mengeluhkan sikap Rasulullah tersebut, hingga akhirnya beliau berkhutbah di hadapan mereka dengan sangat mengesankan… lalu menutup khutbahnya dengan kata-kata:

أفلا ترضون أن يذهب الناس بالأموال وترجعون إلى رحالكم برسول الله؟ فوالله لما تنقلبون به خير مما ينقلبون به. فقالوا: بلى يا رسول الله قد رضينا, قال: فإنكم ستجدون أثرة شديدة فاصبروا حتى تلقوا الله ورسوله فإني على الحوض, قالوا: سنصبر.

“Tidakkah kalian ridha bila orang-orang pulang membawa harta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Sungguh demi Allah, apa yang kalian bawa pulang lebih baik daripada apa yang mereka bawa pulang”. “Benar wahai Rasulullah, kami ridha”, jawab mereka. “Kalau begitu, nanti kalian akan melihat sikap mementingkan diri yang luar biasa dari para penguasa, maka bersabarlah hingga kalian menghadap Allah dan Rasul-Nya, sebab aku menanti kalian di telaga”, pesan Rasulullah. “Baiklah, kami akan bersabar”, jawab kaum Anshar. (HR. Muslim no 1059).

Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah telah berwasiat kepada umatnya secara umum, dan kaum Anshar secara khusus; bahwa kelak akan muncul para penguasa yang mementingkan kemaslahatan pribadi mereka, serta melakukan berbagai kezhaliman dan kemunkaran.

Mereka (mayoritas penguasa tadi) mengesampingkan jasa-jasa kaum Anshar yang demikian besar, dan mengedepankan orang-orang yang tidak berjasa dalam Islam untuk memegang tampuk kekuasaan…

Cobalah kita perhatikan sosok Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Siapa dia? Dari mana asal-usulnya? Apa jasa-jasanya terhadap Islam? Sungguh tak layak jika orang model Hajjaj menjadi gubernur Mekkah dan Madinah sejak tahun 73-75 H, padahal di sana banyak para sahabat dan tabi’in mulia …[6].

Hajjaj lantas dipindah tugaskan ke Irak dan menjadi gubernur di sana selama 20 tahun. Banyak orang yang ‘tak sabar’ melihat kelakuannya. Sebagian dari mereka berpikir untuk melakukan kudeta… namun sebagian lagi menahan diri. Salah satu orang yang paling dibenci oleh Hajjaj adalah Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.

Pembantu setia Rasulullah selama 8 tahun ini pernah kena damprat dan caci maki oleh Hajjaj bin Yusuf !! Seorang tabi’in bernama Ali bin Zaid bin Jud’an menuturkan: Aku pernah berada di istana Hajjaj saat ia menginterogasi para pengikut Ibnul Asy’ats. Ketika Anas berdiri di hadapannya, Hajjaj berkata:

“Hei orang busuk yang tenggelam dalam berbagai fitnah. Sesekali kau di pihak Ali, kemudian di pihak Ibnu Zubeir, lalu di pihak Ibnul Asy’ats[7]?”.

“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kamu akan kubunuh dan kukuliti laksana seekor biawak !!” celetuk Hajjaj.

“Siapa yang Anda maksud wahai Amir ?” tanya Anas.

“Kamulah yang kumaksud. Semoga Allah menulikan telingamu !” bentak Hajjaj.

 

“Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun” kata Anas. Ia pun keluar dari sana lalu mengatakan: “Demi Allah, andai saja aku tak ingat akan anak-anakku, dan khawatir dia (Hajjaj) menganiaya mereka, niscaya akan kuucapkan kepadanya kata-kata yang membuatnya pasti membunuhku” lanjut Anas[8].

Kendatipun demikian, Anas radhiyallahu ‘anhu tidak membalas kekurang ajaran tersebut dengan sikap yang sama, walaupun ia sangat berhak membela diri dari tuduhan ini. Anas lalu menyurati Abdul Malik bin Mirwan selaku khalifah yang mengangkat Hajjaj sebagai gubernur Irak, dan mengeluhkan sikap Hajjaj yang kurang ajar tadi.[9]

Dalam versi lainnya, Imam Al Hakim meriwayatkan kisah ini dari Simak bin Musa, katanya:

لما دخل أنس رضي الله عنه على الحجاج أمر بوجى ء عنقه ثم قال يا أهل الشام أتعرفون هذا هذا خادم رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال أتدرون لم وجأت عنقه قالوا الأمير أعلم قال إنه كان بين البلاء في الفتنة الأولى وغاش الصدر في الفتنة الآخرة …

“Saat Anas menghadap Hajjaj, ia menyuruh agar lehernya ditonjok! Hajjaj lantas berkata: “Wahai warga Syam, apakah kalian mengenal orang ini? Dia adalah pembantu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Tahukah kalian mengapa kutonjok lehernya?”. Tanya Hajjaj. “Amir-lah yang lebih tahu” jawab mereka. “Itu karena ia berada di antara bencana yang terjadi dalam fitnah pertama, dan berkhianat dalam fitnah yang terakhir”.[10]

Hajjaj konon berkeliling mempertontonkan Anas kepada pasukannya. Anas lantas menyurati Abdul Malik bin Marwan dengan mengatakan: “Bagaimana menurutmu jika pembantu Nabi Musa mendatangi kalian, apakah kalian akan menyakitinya?”. Maka Abdul Malik menyurati Hajjaj dan menyuruhnya agar membiarkan Anas bin Malik untuk tinggal di bumi mana saja yang dia suka. Ia juga menulis surat kepada Anas dan mengatakan “Tidak ada seorang pun yang berkuasa atasmu selainku”.[11]

ِMeskipun demikian menyakitkan perlakuan Hajjaj terhadap Anas, Anas tetap saja tidak memberontak atau mengajak orang-orang untuk ‘berdemonstrasi’ menuntut agar Hajjaj dicopot dari jabatannya…. Dan jangan lupa, bahwa status beliau adalah pembantu setia Rasulullah dan satu dari segelintir sahabat Nabi yang masih hidup… bahkan umur beliau kala itu telah demikian lanjut, sebab beliau wafat tahun 93 H dalam usia 103 tahun menurut pendapat paling shahih, sedangkan fitnah Ibnul Asy’ats berakhir pada tahun 84 H. Ini berarti bahwa usia beliau saat dicaci-maki oleh Hajjaj adalah 90 tahun atau lebih…

Kendatipun demikian, simaklah bagaimana sikap beliau terhadap warga Basrah yang mengeluhkan perilaku Hajjaj ini. Salah seorang tabi’in murid Anas bin Malik yang bernama Zubeir bin Adiy mengatakan,

أتينا أنس بن مالك نشكو إليه ما نلقى من الحجاج، فقال: اصبروا فإنه لا يأتي عليكم عام أو زمان أو يوم إلا والذي بعده شر منه، حتى تلقوا ربكم عزوجل، سمعته من نبيكم صلى الله عليه وسلم

Kami mendatangi Anas dalam rangka mengeluhkan kezhaliman Hajjaj terhadap kami. Maka kata Anas, “Sabarlah kalian, sebab tidaklah kalian melalui suatu hari atau zaman, melainkan yang datang setelahnya lebih jelek dari itu. (Demikian seterusnya) sampai kalian menghadap Allah (mati)”. Inilah yang kudengar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.[12]

Demikian pula sikap Imam Hasan Al Bashri yang merupakan musuh bebuyutan Hajjaj dan berulang kali hendak dihabisinya. Hasan yang notabene adalah murid Anas bin Malik juga bersikap sebagaimana ‘ustadz’-nya yang tidak setuju terhadap khuruj.

Ayyub As Sikhtiyani mengatakan bahwa Hajjaj berulang kali berniat membunuh Hasan Al Basri, akan tetapi Allah melindunginya. Hasan juga beberapa kali terlibat perdebatan dengan Hajjaj. Pun begitu, Hasan tidak termasuk orang yang membolehkan khuruj (pemberontakan) terhadap Hajjaj. Ia bahkan melarang pengikut Ibnul Asy’ats untuk memberontak. Hasan mengatakan bahwa Hajjaj merupakan hukuman, maka janganlah kalian hadapi hukuman Allah dengan pedang. Kalian harus bersabar, tenang, dan merendahkan diri kepada Allah”.[13]

Asy-Sya’bi berkata, “Akan datang suatu masa di mana orang-orang mendoakan kebaikan bagi Hajjaj”. Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Demi Allah, jika kalian berumur panjang; kalian akan mengharapkan kembalinya Hajjaj”.[14]

Oleh karena itu, terjadinya pemberontakan Ibnul Asy’ats yang banyak ulama Irak saat itu, merupakan kesalahan besar yang mengakibatkan malapetaka. Simaklah komentar Ibnu Katsir setelah menyitir tragedi menewaskan sekitar 130 ribu muslim ini. Beliau mengatakan,

“Sungguh aneh bin ajaib ketika mereka (para fuqaha’ Irak) membaiatnya (yakni Abdurrahman ibnul Asy’ats) sebagai amirul mukminin, padahal ia bukan berasal dari Quraisy. Ia hanyalah seorang lelaki suku Kindah asal Yaman. Sedangkan para sahabat saat peristiwa saqifah Bani Sa’idah telah sepakat, bahwa yang berhak menjadi amirul mukminin hanyalah suku Quraisy. Abu Bakar Ash Shiddiq bahkan menegaskan hal tersebut dengan menyitir sebuah hadits. Saat kaum Anshar menuntut agar mreka memiliki amir di samping amir kaum Muhajirin, Abu Bakar menolak tuntutan tersebut. Bahkan Abu Bakar sempat mencambuk Sa’ad bin Ubadah yang awalnya menyerukan hal tersebut, namun kemudian rujuk darinya.

Lantas bagaimana dibenarkan bila mereka -para fuqaha’ Irak- menyikapi seorang khalifah yang telah dibaiat sebagai pemimpin kaum muslimin, lantas mencopotnya; padahal ia berasal dari suku Quraisy asli? Lalu di saat yang sama mereka membaiat seorang lelaki suku Kindah padahal baiat tersebut tidak disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi? Karena ini merupakan kesalahan dan kekeliruan, maka terjadilah bencana besar yang menewaskan banyak korban… inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun”.[15]



[1] Lihat: Liqaa’ al Baabil Maftuh, no 179.

[2] Lihat: http://ar.wikipedia.org/wiki/الثورة_التونسية

[3] Lihat: http://www.aljazeera.net/NR/EXERES/A3A3FFB0-69C1-40FF-8261-3223AC997B98.htm

[4] Lihat: http://www.dw-world.de/dw/article/0,,15310470,00.html

[5] Sebagian kalangan menganggap bahwa pemberontakan yang tidak boleh dilakukan ialah pemberontakan bersenjata. Namun yang benar ialah bahwa pemberontakan (khuruj) bisa terjadi dengan keyakinan maupun perbuatan. Contoh khuruj dengan keyakinan (pemikiran) ialah dengan tidak mau berbaiat, dan meyakini bolehnya atau wajibnya khuruj terhadap penguasa muslim. Para salaf sering mencela orang yang khuruj dengan cara seperti ini dengan istilah ‘kaana yara as-saif’.

Sedangkan jenis kedua, ialah orang yang mengangkat senjata melawan pemimpinnya. Seperti dengan berkumpul di suatu tempat dengan maksud melengserkan pemimpin atau menggantinya, atau dalam rangka membikin kekacauan dan fitnah yang melaluinya si penguasa akan terbunuh atau disingkirkan. Artinya, semua perbuatan yang mengarah kepada pemberontakan, atau berusaha membunuh dan melengserkan penguasa, termasuk kategori khuruj yang kedua.

Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa khuruj juga bisa terjadi lewat ucapan. Yaitu bila ia mengatakan sesuatu yang berakibat pada terjadinya pemberontakan. Namun jika ia mengatakan sesuatu dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar sesuai aturan syar’i tanpa menimbulkan fitnah; maka tidak dianggap sebagai khuruj (lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyyah oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh).

Contoh orang-orang yang dikritik karena berpemikiran khawarij ialah: Hasan bin Shalih bin Hay, Ali bin Abi Thalhah, ‘Imran bin Dawar Al Qaththan, Muhammad bin Rasyid Al Makhuly, dan Imam Abu Hanifah.

[6] Lihat: Tariekhul Islam 2/759-764. Para sahabat yang masih hidup saat Hajjaj berkuasa di Haramain contohnya: Abu Sa’id Al Khudri, Rafi’ bin Khadiej, dan Salamah bin Akwa’ mereka semua wafat th 74 H. Kemudian ‘Irbadh bin Sariyah, dan Abu Tsa’labah Al Khusyani (keduanya wafat th 75 H). Sedangkan yang tetap hidup hingga Hajjaj pindah ke Irak, adalah Jabir bin Abdillah dan Zaid bin Khalid Al Juhani (keduanya wafat th 78 H).  Hajjaj lantas menjadi gubernur Irak selama 20 tahun kemudian, padahal di sana terdapat sahabat terkenal Anas bin Malik Al Anshari, dan sejumlah tokoh Tabi’in seperti Hasan Al Basri, Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi, dll.

[7]  Ali bin Abi Thalib, Ibnu Zubeir, dan Ibnul Asy’ats adalah orang-orang yang pernah berseteru dengan Bani Umayyah, sedangkan Hajjaj adalah kaki tangan Bani Umayyah yang demikian loyal, sehingga memusuhi setiap orang yang dianggap berseberangan dengan ‘majikannya’.

[8] Kisah ini diriwayatkan oleh At Thabrani dlm Al Mu’jamul Kabir (no 704) dan Ibnu Asakir dlm Tarikh Dimasyq (9/372) dengan sanad yang hasan hingga Ali bin Zaid bin Jud’an. Ibn Jud’an adalah orang yang jujur namun lemah hafalannya. Kisah ini juga diriwayatkan oleh Mu’afa bin Zakariya dlm Al Jalis As Shalih (3/151) dari Jalur Hisyam bin Muhammad bin Sa-ib Al Kalbi, dari ‘Awanah bin Hakam Al Kalbi dengan redaksi yang mirip. Semua perawi dalam sanad yang kedua ini tergolong tsiqah kecuali Hisyam Al Kalbi yang dianggap matruk walaupun hafalannya sangat luas dan tergolong ahli sejarah.

Bila diperhatikan, kelemahan yang ada pada Ibnu Jud’an bisa ditoleransi mengingat ia menyaksikan langsung peristiwa tersebut, dan hal ini lebih melekat pada ingatan daripada sekedar mendengar. Apalagi kisah yang senada juga diriwayatkan oleh ahli sejarah terkenal -walaupun dianggap matruk dalam hal hadits-, yaitu Hisyam Al Kalbi. Intinya kisah ini bisa diterima. Al Mizzi juga meriwayatkan kisah ini dari jalur Ibnu Jud’an dengan lafazh jazm (Qaala), yang berarti bahwa sanad kisah ini laa ba’sa bihi (tidak bermasalah) menurut beliau (lihat: Tahdzibul Kamal 3/373).

[9] Lihat kisah selengkapnya dalam Al Jalis Ash Shalih (3/151-153) dan Tarikh Dimasyq

[10] Al-Mustadrak 3/574, dengan sanad yang hasan. Fitnah yang pertama maksudnya peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah, atau antara pasukan Syam yang dipimpin oleh Hajjaj melawan Ibnu Zubeir. Sedangkan fitnah yang terakhir maksudnya adalah pemberontakan Ibnul Asy’ats beserta warga Irak melawan Bani Umayyah.

[11] Diriwayatkan oleh Al Hakim dlm Mustadrak-nya dengan sanad yang sama, dari penuturan Muhammad bin Mughirah. Menurut  Hisyam Al Kalbi, surat Anas terhadap Abdul Malik bunyinya adalah: “Bismillahirrahmanirrahiem, untuk Abdul Malik bin Marwan dari Anas bin Malik… Amma ba’du, Hajjaj telah mengucapkan kata-kata keji dan memperdengarkan sesuatu yang munkar kepadaku, padahal aku tidaklah seperti itu. Maka tahanlah dia dariku sebab aku merupakan pembantu serta sahabat Rasulullah. Wassalaam” (Lihat: Al Bidayah wan Nihayah 9/153).

[12] HR. Ahmad (no 12838) sebagaimana lafazh di atas, dan Bukhari (no 6657).

[13] Al Bidayah wan Nihayah 9/155.

[14] Idem.

[15] Al Bidayah wan Nihayah 9/66.